Sabtu, 21 Oktober 2017

LARANGAN JUAL BELI DALAM ISLAM


A.      Larangan dalam Jual Beli Menurut Islam
Rasullullah sangat melarang sikap dan perilaku negatif dalam jual beli, diantaranya adalah:
1.    Jual beli dengan penipuan
 Penipuan dapat merugikan orang lain dan melanggar hak asasi jual beli yaitu suka sama suka. Orang yang tertipu jelas tidak suka karena haknya dikurangi atau dilanggar. Jual beli yang mengandung penipuan adalah jual beli sesuatu yang tidak diketahui hasilnya, atau tidak bisa diserahterimakan, atau tidak diketahui hakikat dan kadarnya, misalnya jual beli burung yang masih terbang diangkasa, jual beli binatang yang masih dalam kandungan induknya, dan sebagainya.  
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ(رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Abu Hurairah katanya: Rasullullah SAW melarang jual beli dengan hashah(melempar batu/kerikil) dan jual beli dengan cara menipu.(HR.Muslim).
Hadis diatas menjelaskan tentang larangan Rasullullah terhadap dua jenis jual beli, yaitu jual beli yang disertai dengan penipuan dan jual beli, yaitu jual beli yang disertai dengan penipuan dan jual beli dengan cara mengundi, misalnya melempar kerikil pada barang yang akan dibeli. Jika lemparan itu terkena barang yang akan dibeli, maka terjadilah akad jual beli tersebut. Jual beli demikian dilarang dalam agama islam.
2.    Jual beli hashah
Yaitu jual beli dengan menggunakan undian atau dengan adu ketangkasan, agar mendapatkan barang yang dibeli sesuai dengan undian yang didapat.
3.    Jual beli dengan menyembunyikan cacat barang yang dijual.
Yaitu menjual barang yang sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual, tetapi penjual menjualnya dengan memanipulasi seakan-akan barang tersebut sangat berharga dan berkualitas. Jual beli seperti ini tidak boleh karena mengandung unsur penipuan dan pemalsuan, maka seharusnya penjual harus memberitahu pembeli apabila ada cacat, apabila tidak maka ada ancaman dari Rasullullah dalam sabda:
عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ عَنِ النَّبِىِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا فَاِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَافِى بَيْعِهِمَاوَاِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا (رَوَهُ مُسْلِمٌ).
Dari Hakim ibn Hizam dari Nabi SAW, ia bersabda, “Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah. Jika keduanya jujur, niscaya keduanya akan diberikan barakah pada jual beli mereka. Jika keduanya berbohong dan menyembunyikan(cacat barang), niscanya berkah jual beli mereka dihapus.” (HR. Muslim)
4.    Jual beli yang menjual barang yang sudah dibeli orang lain (bay’ rajul ‘ala bay’ akhih)
Barang yang sudah dibeli orang lain tidak boleh dijual kembali kepada orang lain lagi, karena barang yang sudah dijual itu menjadi milik pembeli sehingga penjual tidak boleh menjualnya kembali. Rasullullah bersabda :
عَنٍ ابْنِ عُمَرعَنِ النَّبِىِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : لاَبَيْعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ اِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
“Dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasullullah saw bersabda, “janganlah sebagian kamu menjual sesuatu penjualan sebagian yang lain.” (HR. Muslim)
5.    Jual beli dengan cara mencegat barang dagangan sebelum sampai dipasar(bay’ al-hadhir li al-badi)
Yaitu mencegat pedagang dalam perjalanannya sebelum sampai di pasar sehingga orang yang mencegatnya dapat membeli barang lebih murah dari harga di pasar sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Rasullullah bersabda :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَلَاتَنَجَشُوْاوَلَايَبِيْعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ (رَوَاهُ البُخَرِىُ).
“Dari Abu Hurairah ia berkata: Sesungguhnya Nabi SAW melarang orang desa menjual kepada orang kota, dan jangan menjual dengan cara curang (supaya harga barang_barang menjadi tinggi), dan janganlah seseorang untuk menjual atas jualan saudaranya. (HR. Al-Bukhari)
6.    Jual beli secara curang (najsyi’) supaya harga barang lebih tinggi.
Yaitu menawar harga tinggi untuk menipu pengunjung lainnya. Misalnya, dalam suatu transaksi atau pelelangan, ada penawaran atas suatu barang tertentu, kemudian ada seseorang yang menaikan harga tawarannya, padahal ia tidak berniat untuk membelinya. Dia hanya ingin menaikkan harganya untuk memancing pengunjung lainnya dan untuk menipu para pembeli, baik orang ini bekerja sama dengan penjual ataupuntidak. Orang yang menaikkan harga, padahal tidak berniat untuk membelinya telah melanggar larangan Rasullullah, sebagaimana sabdanya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ نَهَى عَنِ النَّجْشِ (مُتَفَقٌ عَلَيْهِ).
“Dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasullullah SAW melarang jual beli nasyi”. (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
 7.    Jual beli dengan cara paksaan ( bay’ al- ikhrah)
Jika seseorang dipaksa untuk melakukan jual beli, maka jual beli itu tidak sah. Hanya saja, jika ada kerelaan setelah terjadinya paksaan, maka jual beli tersebut sah. Jual beli kategori ini tidak mengikat pembeli dan penjual sehingga keduanya mempunyai kebebasan memilih untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya setelah paksaan terjadi. Rasullullah bersabda:
وَقَدْ نَهَى النَّبِىِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ المُضْطَرِّ وَبَيْعِ الْغَرَرِعَنْ وَبَيْعِ الثَّمَرَةِ قَبْلَ أَنْ تُدْرِكَ (رَوَاهُ أَحْمَدُ)
“Sesungguhnya Nabi SAW melarang jual beli dengan unsur paksaan, jual beli dengan unsur penipuan, dan jual beli buah sbelum diketahui buahnya.” (HR. Ahmad ibn Hanbal)
8.    Jual beli Mukhadarah
Yaitu jual beli buah yang belum tampak atau jelas buahnya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist di atas, Rasullullah melarang jual beli buah sebelum diketahui keberadaan buah itu seperti apa. Jual beli demikian dilarang karena mengandung penipuan. Jual beli buah-buahan yang masih belum masak adalah dilarang karena tidak tentu kemungkinan buah-buah tersebut ditiup angin kencang atau tidak masak karena tangkainya mati. Dalam hadist lain Nabi besabda:
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارٍأَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَبِيْعُوا الثَّمَرَحَتَّى يَبْدُوَصَلَاحُهُ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Dari ‘Abd. Allah ibn Dinar bahwasanya ia mendengar Ibn ‘umar berkata: Rasullullah SAW bersabda, “Jangan kalian membeli buah sebelum tampak matangnya.” (HR. Muslim).
9.    Jual beli barang yang diharamkan
Yaitu jual beli yang menjual barang haram seperti bangkai, babi, khamar, dan sebagainya. Barang-barang ini diharamkan berdasar firman Allah, misalnya dalam surah an-Nahl ayat 115 :
عَنْ جَبِربْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ اِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ (رَوَاهُ الْبُخَرِىُ).
Dari Jabir bin Abd. Allah r.a. bahwa ia mendengar Rasullullah SAW bersabda pada tahun penaklukan kota Mekkah, pada waktu ia di Mekkah, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli Khamar.” (HR. al- Bukhori).
 10.     Jual beli barang yang tidak dimiliki
Misalnya, seorang  pembeli datang kepada seorang pedagang mencari barang tertentu. Adapun barang yang dicari tersebut tidak ada pada pedagang itu. Kemudian antara pedagang dan pembeli salaing sepakat untuk melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekarang ataupun nanti, sementara itu barang belum menjadi hak milik pedagang atau penjual. Kemudian pedagang itu membeli barang yang dimaksud dan menyerahkan nya kepada pembeli. Jual beli seperti itu hukumnya haram, karena pedagang menjual sesuatu yang barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya. Rasullullah melarang cara jual beli seperti ini dengan bersabda :
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ (رَوَاهُ الْبُخَرِىُ)
“ Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu.”(HR. al- Bukhori).
11.     Jual beli sesuatu yang tidk ada (bay’ ma’dum)
Yaitu menjual atau membeli sesuatu barang yang tidak ada. Misalnya , seseorang membeli buah mangga yang belum ada pohonnya. Hal ini didasarkan pada hadist diatas. Menurut ‘Ali Muhyi al-Din ‘Ali, tidak diragukan bahwa dari hadist di atas dapat dipahami larangan jual beli sesuatu yang tidak ada dalam kenyataan atau tidak berada dalam tanggungan seseorang.  Menurut ulama terdapat empat jenis jual beli barang yang tidak ada, yaitu:
a.    Barang yang tidak ada dan tidak mungkin ada selamanya baik menurut akal maupun kebiasaan, tidak boleh diperjualbelikan selamanya pula.
b.    Barang yang tidak ada waktu akad jual beli tapi kemungkinan ada setelah itu.
c.    Barang yang tidak ada mengikuti barang yang ada.
d.   Barang yang tidak ada yang disifati dengan tanggungan yang kemudian akan ada, seperti jual beli pesanan.
12.     Jual beli sesuatu sebelum diterima atau dimiliki (bay’ al-sil’ah qabl qabdhiha’)
Misalnya seseorang akan membeli suku cadang sepeda motor ke suatu dealer padahal di situ tidak tersedia kemudian dealer itu melakukan akad jual beli sambil mencari suku cadang itu di dealer lain. Hal ini dilarang sebagaimana sabda Rasullullah:
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ دِيْنَارٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلَايَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضُهُ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُ).

Dari ‘Abd. Allah ibn Dinar, katanya: Aku mendengar Ibn ‘umar r.a berkata: Rasullullah SAW bersabda, “ Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia membeli(membayarnya)-nya hingga ia menerimanya.” (HR. Al- Bukhori)
13.     Jual beli secara ‘inah
Yaitu seseorang menjual barang kepada orang lain dengan pembayaran di belakang, kemudian orang itu membeli barang itu lagi dari pembeli tadi dengan harga yang lebih murah, tetapi dengan pembayaran kontan yang diserahkan kepada pembeli. Ketika sudah sampai tempo pembayaran, dia minta pembeli membayar penuh sesuai dengan harga yang ditentukan saat dia membeli barang. Ini disebut jual beli ‘inah (benda), karena benda yang dijual kembali lagi kepada pedagang semula. Hal ini adalah haram, karena hanya bersifat untuk menyiasati riba, Rasullullah bersabda :
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِوَرَضِيْتُمْ بِاالزَّرْعِ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّالَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُواإلَى دِيْنِكُمْ (رَوَاهُ اَبُوْدَاوُدُ).
Jika kalian melakukan jual beli dengan cara ‘inah, dan kalian telah memegang ekor sapi, dan kalian rela dengan bercocok tanam, Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian. Allah tidak akan mengangkatnya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud).
14.     Jual beli Muhaqalah
Yaitu jual beli tanaman yang masih berada di ladang atau sawah. Jual beli dengan cara ini dilarang karena ada kemungkinan mengandung riba. Rasullullah bersabda :
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَا بَنَةِ وَالْمُخَابَرَةِ وَعَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُ وَلَا يُبَاعُ إِلَّا بِالدِّيْنَارِوَالدِّرْهَمِ إِلَّا الْعَرَايَا (رَوَاهَ مُسْلِمٌ).
Dari Jabir ibn ‘Abd. Allah, katanya : Rasullullah SAW melarang jual beli muhaqalah, muzabanah, mukhabarah, jual beli buah sebelum tampak matang. Tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan dinar dan dirham kecuali jual beli ‘ariyah.” (HR. Muslim)
15.     Jual beli Muzabanah
Yaitu jual beli buah yang basah dengan harga buah yang kering, atau menjual padi yang kering dengan harga padi yang basah. Hal ini dilarang karena padi atau biji-bijian yang basah akan mengakibatkan timbangan menjadi berat dan mengandung unsur penipuan dalam transaksi semacam ini.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُخَاضَرَةِ وَالْمُلَامَسَةِ وَالمُنَابَدَةِ وَالْمُزَابَنَةِ (رَوَاهُ الْبُخَرِيُ).
Dari Anas ibn Malik r.a. ia berkata : Rasullullah melarang jual beli muhaqalah, mukhadarah, mulamasah, munabadzah, dan muzabanah.” (HR. al-Bukhori).
16.     Jual beli Munabadzah
Yaitu jual beli dengan melempar barang yang ingin dijual. Barang yang dilemparkan oleh penjual kemudian ditangkap oleh pembeli, tanpa mengetahui apa yang akan di tangkap itu. Jual beli dengan cara ini tidak sah karena menimbulkan penipuan dan adanya ketidaktahuan (al-jalalah).
17.     Jual beli Mulamasah
Yaitu apabila seseorang mengusap baju atau kain, maka wajib membelinya. Mulamasah artinya adalah sentuhan. Maksudnya jika seseorang berkata: “Pakaian yang sudah kamu sentuh, berarti sudah menjadi milikmu dengan harga sekian.” Atau “Barang yang sudah kamu buka, berarti telah menjadi milikmu dengan harga sekian”. Jual beli yang demikian dilarang dan tidak sah, karena tidak ada kejelasan tentang sifat yang harus diketahui dari calon pembeli. Dan di dalamnya terdapat unsur pemaksaan.
18.     Jual beli Muzabanah
Yaitu jual beli kurma dengan kurma yang masih ada diatas pohonnya. Hal ini dilarang sebagaimana sabda Nabi:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ وَالْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةُ اِشْتِرَاءُالثَّمَرِبِالتَّمْرِفِى رُؤُوسِ النَّخْلِ (رَوَاهُ الْبُخَرِيُ).
Dari Abu Sa’id al- Khudzri r.a. bahwasanya Rasullullah SAW melarang jual beli muzabanah dan muhaqalah. Yang dimaksud dengan jual beli muzabanah adalah jual beli kurma dengan kurma yang masih ada diatas tangkainya.” (HR. al-Bukhori).
19.     Jual beli bersyarat
Yaitu jual beli yang dikaitkan dnegan syarat tertentu. Jual beli besyarat ini dilarang oleh Rasullullah
          sebagaimana Hadist yang diriwayatkan oleh al- Thabrani:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ عَنْ بَيْعٍ وَشَرْطٍ (رَوَاهُ الطَبْرَنِىُ)
Rasullullah SAW melarang jual beli dengan syarat.” (HR. Thabrani).
20.     Jual beli dengan cara penimbunan barang
Yaitu seseorang membeli suatu yang dibutuhkan masyarakat, kemudian menyimpannya, sehingga barang tersebut berkurang di pasaran dan mengakibatkan peningkatan harga. Penimbunan seperti ini dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan kelangkaan/sulitnya didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lain, penimbunan mendapatkan keuntungan yang besar dibawah penderitaan orang lain. Rasullullah melarang menimbun harta sebagaimana dalam hadistnya berikut:
عَنْ مَعْمَرٍقَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنِ اِحْتَكَرَفَهُوَخَاطِئٌ (رَوَاهُ مُسْلِمْ)
Dari Ma’mar ia berkata, Rasullullah SAW bersabda: “ Barang siapa yang menimbun barang, maka ia bersalah(berdosa).” (HR. Muslim).
21.     Jual beli sperma binatang
Rasullullah melarang seseorang menjual sperma binatang jantan yang digunakan untuk membuahi binatang betina sehingga bisa melahirkan, sebagaimana sabdanya:
عَنْ ابْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ نَهىَ النَّبِىُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ(رَوَاهُ الْبُخَرِيْ)
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.alia berkata: Rasullullah SAW melarang seseorang menjual sperma binatang jantan.” (HR. al-Bukhori).[1]



[1] Idri, Hadis Ekonomi (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), hal. 159-171.

JUAL BELI DAN RIBA


v  JUAL BELI
A.      Pengertian Jual Beli
Jual beli adalah tukar menukar barang atau harta secara suka sama suka. Definisi ini sejalan dengan firman Allah SWT bahwa jual beli harus didasarkan pada keinginan sendiri dan atas dasar suka sama suka , sebagaimana firman Allah dalam surah al-Nisa’ayat 29.
يَاأَيَّهَا الّذِينَ ءَامَنُوالاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بِا لْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةًعَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu secara batil, kecuali bila berlaku dalam perdagangan antas dasar sama suka.”
Pembolehan jual-beli ditetapkan dalam empat sumber dalil, yaitu:
1.    Kitab Allah, dalam firman-Nya:“Dan, Allah menghalalkan jual-beli” (al-Baqarah: 275).
2. As-Sunnah, dalam sabda beliau, “Orang yang berjual-beli menurut pilihannya selagi belum saling berpisah.”
3.    Ijma’ orang-orang Muslim yang membolehkannya.
4.  Berdasarkan qiyas, karena kebutuhan kepadanya.  Seseorang tidak bisa mendapatkan apa yang dia butuhkan, jika apa yang dia butuhkan itu ada di tangan orang lain, kecuali dengan cara tertentu.[1]

B.       Jual Beli dalam Perspektif  Hadis Nabi
وَتَعَاوَنُوا الْبِرِّوَالتَّقْوَى وَلاَتَعَا وَنُو عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Bertolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)kebaikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Apresiasi Rasullulah terhadap jual beli terlihat dalam sabdanya ketika ia ditanya oleh seseorang tentang mata pencaharian yang paling baik, sebagaimana dalam Hadis berikut:
       عَنْ رِفَا عَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَ النَبِىَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ سُءِلَ: اَىُّ الْكَسْبِ اَطْيَبُ؟ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ {رَوَاهُ الْبَزَارُ وَصَحَحُ الْحَاكِمُ}
“Dari Rifa’ah ibn Rafi’ r.a bahwasanya Rasullulah SAW ditanya: Mata pencaharian apakah yang paling bagus ?Rasullulah menjawab,”Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli yang baik.” (HR. al-Bazzar dinyatakan sahih oleh al-Naysaburi)

C.      Rukun dan Syarat Jual Beli
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama adalah adanya penjual, pembeli, ijab kabul dan barang yang diperjualbelikan, dan nilai tukar pengganti barang. Disamping rukun, terdapat pula syarat-syarat jual beli yaitu sesuatu yang harus ada pada setiap rukun jual beli. Menurut jumhur ulama syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1.   Syarat-syarat orang yang berakad, yaitu penjual dan pembeli haruslah berakal dan dapat membedakan (tamyis), serta orang yang berakad harus cakap dalam bertindak hukum.
2.    Syarat-syarat barang atau objek jual beli. Barang yang diperjualbelikan harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a.    Barang itu harus ada. Maka tidak sah menjual barang yang tidak ada atau belum ada. Hal ini telah dijelaskan dalam Hadis Nabi di atas:
لَاتَبِعْ مَا لَيسَ عِنْدَكَ {رَوَاهُ الْبُخَارِىُ}
Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu.”(HR. al-Bukhari)
b.   Benda yang diperjualbelikan itu harus miliknya sendiri atau milik orang lain yang diwakilinya. Jika benda yang diperjualbelikan tersebut bukan miliknya sendiri, menurut mazhab Syafi’I, Maliki, dan Hambali, jual beli tersebut boleh dan sah dengan syarat yang harus mendapat izin pemiliknya. Akan tetapi, jika tidak mendapat izin dari pemiliknya, maka jual beli tersebut tidak sah. Sebagaimana Hadis Rasulullah di atas, yaitu:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنُ دينَارٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ مَنِ بْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْعُ حَتَّى يَقّبِضَهُ {رَوَاهُ الْبُخَارِىُ}
Dari ‘Abd ibn Dinar, katanya: Aku mendengar Ibn ‘Umar r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia membeli (membeyar)-nya kecuali setelah ia menerima atau memegangnya.”(HR. al-Bukhari)
c.  Barang tersebut dapat diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang telah disepakati bersama, ketika transaksi berlangsung. Ketentuan ini berdasarkan Hadis:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُو لُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ{رَوَاهُ مُسْلِمٌ}
“Dari Abu Hurayrah r.a. Berkata Rasulullah saw melarang jual beli denga lemparan batu (kerikil) dan jual beli gharar.”(HR. Muslim)

d.   Barang tersebut bisa diketahui oleh penjual dan pembeli. Mengetahui disini adakalanya waktu akad atau sebelum akad dengan syarat benda tersebut tidak berubah saat akad berlangsung.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: الْمَدِينَةُ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِاثَّمَرِ السَّنَتَينِ وَالثَّلَاثِ فَقَالَ مَنْ اَسْلَفَفِيْ كَيلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ 0رَوَاهُ مُسْلِمٌ}
“Diriwayatkan dari ibn Abbas r.a., ia berkata :Nabi SAW datang ke Madinah dimana masyarakatnya melakukan transaksi salam kurma selama dua tahun dan tiga tahun.Kemudian Nabi bersabda, “Barangsiapa yang melakukan akad salam terhadap sesuatu hendaklah dilakukan dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas , dan sampai batas waktu yang jelas.”(HR.Muslim)
e.   Barang tersebut harus ada manfaatnya dan harus suci, maka tidak sah memperjualbelikan barang yang tidak ada manfaatnya dan barang najis. Dalam surah al-A’raf ayat 157 dijelaskan :
وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الخَبَائِثَ
“Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala benda yang baik, dan mengharamkan kepada mereka segala benda yang buruk.”
3. Syarat yang berkaitan dengan ijab dan qabul. Agar supaya ijab dan qabul dalam jual beli dapat mengakibatkan sahnya akad, maka harus memenuhi beberapa syarat yaitu ;[2]
a.    Tujuan pernyaraan jelas
b.    Ada kesesuaian antara ijab dan qabul
c.    Pernyataan ijab dan qabul mengacu pada kehendak masing-masing.  
4.  Syarat yang berkaitan dengan nilai tukar (harga barang). Ulama fiqh mengemukakan syarat dari nilai tukar sebagai berkut:
a.    Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b.   Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila barang itu dibayar kemudian (berutang), maka waktu pembayarannya pun jelas.
c.    Apabila jual beli itu dialakukan secara barter maka barang yang dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan oleh syara’ seperti babi dan khamr, karena kedua jenis ini tidak bernilai dalam pandangan syara’.
           
D.      Tujuan dan Bentuk-Bentuk Jual Beli
Al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan agar umat manusia hidup dengan berlandaskan tolong-menolong, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Maidah ayat 2:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّوَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu (mengerjakan) dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Untuk melestarikan tujuan tersebut, maka toleransi atau lapang dada dalam aktivitas perdagangan dan jual beli ini sangat diperlukan dan itu merupakan perbuatan yang mendatangkan keberhasilan serta keberkahan usaha. Bentuk-bentuk jual beli dapat dilihat dari beberapa segi.
1.    Dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, ada dua bentuk jual beli, yaitu:
a.    Jual beli yang sahih, jual beli yang telah memenuhi semua rukun dan syarat.
b.    Jual beli yang tidak sahih, jual beli yang salah satu atau semua rukunnya tidak terpenuhi.
2.    Dilihat dari objek jual beli, ada tiga bentuk:
a.    jual beli umum; yaitu menukar barang dengan uang.
b.    Jual beli al-sharf dan money changer, yaitu penukaran uang dengan uang.
c.    Jual beli barter, yaitu menukar barang dengan barang.
3.    Dilihat dari standarisasi harga, ada tiga bentuk jual beli, yaitu:
a.    Jual beli tawar-menawar, yaiu jual beli dimana pihak penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b.    Jual beli amanah, yaitu jual beli dimana penjual memberitahukan harga modal jualannya.
c.  Jual beli lelang, yaitu jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, kemudian para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, kemudian si penjual akan menjual dengan harga tertinggi daripada pembeli tersebut.
4.    Dilihat dari cara pembayaran, terdapat empat bentuk jual beli:
a.    Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayarannya secara langsung.
b.    Jual beli dengan pembayaran tertunda.
c.    Jual beli dengan penyerahan darang dan pembayaran sama-sama tertunda.


E.       Prinsip-Prinsip Jual Beli
Berbagai penjelasan tentang jual beli diatas dimaksudkan agar aktivitas jual beli sesuai dengan prinsip-prinsip jual beli dalam islam. Secara garis besar, prinsip-prinsip itu adalah:
1. Prinsip suka sama suka (‘an taradhin). Prinsip ini menunjukkan bahwa segala bentuk aktivitas perdagangan dan jual beli tidak boleh dilakukan dengan paksaan, penipuan, kecurangan, intimidasi, dan praktik-praktik lai yang dapat menghilangkan kebebasan, kebenaran, dan kejujuran dalam transaksi ekonomi.
2.  Takaran dan timbangan yang benar.dalam perdagangan nilai timbangan dan ukuran yang dapat dan standar benar-benar harus diutamakan.
3.    Iktikat baik. Menunjukkan iktikat baik dalam transaksi bisnis juga dianggap sebagai hakikat bisnis.[3]


v  RIBA
A.      Pengertian Riba
Menurut jumhur ulama, prinsip utama dalam riba adalah penambahan, yaitu penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. Menurut qatadah, riba jahiliyyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.
حَدَّثَنَا أَبُوكُرَيبٍ وَوَاصِلُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ فُصَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ أَبِي نُعْمٍ عَنْ أَبِي هُرَيرَةَ قَالَ قَالَ رَسُو لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَفَهُوَرِبًا
Rasulullah bersabda: “Emas dengan emas sama timbangan dan ukurannya, perak dengan perak sama timbangan dan ukurannya. Barang siapa meminta tambah maka termasuk riba.”
Riba dalam munasabahnya menunjukkan beberapa karakter:
1.  Menjadikan pelakunya kesetanan, tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.
2.  Riba merupakan transaksi utang piutang dengan tambahan yang diperjanjikan di depan dengan dampak zhulm.
3.   Riba mempunyai watak menjauhkan persaudaraan bahkan menuju permusuhan.

B.       Riba Dalam Prespektif Hadis Nabi
Hadis-hadis yang menerangkan tentang riba kebanyakan berkaitan dengan transaksi jual beli. [4]
عَنْ عَبْد الرّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ:قَالَ أَبُو بَكْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَتَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا سَوَاءَ بِسَوَءٍ وَالْفِضَّةَبِالذَّهَبِ كَيْفَلاشِءْتُم {رَوَاهُ الْبُخَارِىُ}
“Dari Abd al-Rahman ibn Abi Bakrah, katanya: Abu Bakrah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda, “jangan kalian jual beli emas kecuali sama-sama, perak dengan perak kecuali yang sama-sama. Dan jual belilah emas dan perak atau perak dengan emas sesuai dengan keinginan kalian.” (H.R. Bukhari)
Hadis diatas menjelaskan bahwa jual beli dengan barang yang sejenis. Jika jual beli itu dilakukan dengan ukuran dan timbangan yang berbeda maka termasuk kategori riba, kecuali objek yang diperjualbelikan berbeda misalnya emas dengan perak, emas dengan gandum, maka diperbolehkan dengan ukuran dan timbangan yang berbeda. Jika barang yang diperjual belikan berbeda, maka dapat dilakukan dengan ukuran, kadar, atau timbangan yang berbeda asalkan barang itu langsung diserahterimakan pada saat transaksi dilakukan, sebagaimana sabda Nabi:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالِفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرَّوَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِوَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍيَدًابِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيفَ شِءْتُمْ إِذَاكَانَ يَدًابِيَدٍ {رَوَاهُ مُسْلِمٌ}
“Dari Ubbadah bin Shamit, katanya: Rasulullah SAW bersabda, “jual belil emas dengan emas, tepung dengan tepung, gandum dengan gandum, dan kurma dengan kurma serta garam dengan garam harus sama dan langsung serah terima. Apabila barang-barang ini berbeda-beda, maka jual belilah kalian sesuai yang kalian inginkan apabila dilakukan secara serah terima langsung.” (H.R. Muslim)
Apabila salah satu sifat barang yang diperjual belikan berubah, misalnya berubah warnanya kusam karena lama tidak terjual dan lainnya masih segar, maka jual beli dengan ukuran yang berbeda diperbolehkan. Disamping itu, Rasulullah mengutuk kepada orang-orang yang terlibat dalam riba baik yang memakannya, mewakili, dalam transaksi riba, menulis atau menyaksikannya. Rasulullah bersabda:
عَنْ جَا بِرٍ, قَالَ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَالرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ {رَوَاهُ مُسْلِمٌ}
“Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah SAW mengutuk orang yang memakan riba, orang yang mewakilinya, orang yang mencatatnya, dan dua orang yang menjadi saksinya. Nabi bersabda, “mereka sama (dosanya).” (H.R.Muslim)
Rasulullah memasukkan riba sebagai salah satu dari tujuh dosa besar yang harus dijauhi. Riba disepadankan dengan syirik, sihir, membunuh, makan harta anak yatim, lari dari peperangan, dan menuduh wanita baik-baik melakukan zina. Orang yang makan harta riba baik melalui utang-piutang maupun jual beli bermaksud agar hartanya bisa bertambah. Padahal, menurut Rasulullah harta itu sesungguhnya berkurang (minimal dari segi berkahnya).

C.      Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dibagi menjadi dua, yakni:[5]
1.    Riba utang-piutang
a.    Riba Qardh
Adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang berhutang. Misalnya, orang yang berhutang seratus ribu rupiah diharuskan kembali membayar seratus sepuluh ribu rupiah, maka tambahan sepuluh ribu rupiah adalah riba qardh.
b.    Riba Jahiliyyah atau Riba Yad
Adalah utang yang dibayarkan lebih dari pokoknya karena peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan. Biasanya jika peminjam tidak mampu membayar pada waktu yang ditentukan, maka bunganya akan bertambah sejalan dengan waktu tenggakan.
2.    Riba jual-beli:
a.    Riba Fadhl
Adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk kedalam jenis barang ribawi. Perkataan fadhl berarti kelebihan yang dikenakan dalam pertukaran atau penjualan barang yang sama jenis atau bentuknya.
b.    Riba Nasi’ah
Adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

D.      Sebab-Sebab Dilarangnya Riba, Hukum dan Ancaman Pelaku Riba
v Adapun sebab-sebab dilarangnya riba yakni:
a.    Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilik harta dari orang lain tanpa ada imbalan.
b.    Riba menghalangi pemodal ikut serta berusaha mencari rezeki, karena ia dengan mudah membiayai hidupnya, cukup dengan bunga berjangka itu.
c.  Jika riba diperbolehkan, masyarakat dengan maksud memenuhi kebutuhannya tidak segan-segan meminjam uang walupun bunganya sangat tinggi.
d.   Dengan adanya riba biasanya pemodal menjadi semakin kaya dan peminjam semakin miskin.
e.    Larangan riba sudah ditetapkan oleh nash.  [6]
f.  Mencegah para rentenir berbuat zalim kepada penerima pinjaman karena praktik riba berarti pemberi pinjaman mengeksplorasi penerima pinjamandengan meminta bunga atas pinjaman yang diberikan.[7]
v Hukum riba
a.    Kelompok pertama:
Mengharamkan riba yang berlipat ganda karena diharamkan al-Qur’an adalah riba yang berlipat ganda saja yakni riba nasi’ah terbukti juga dengan hadis tidak ada riba kecuali nasi’ah. Karenanya selain riba nasiah maka diperbolehkan.
b.    Kelompok kedua:
Mengharamkan riba, baik yang besar maupun kecil. Riba dilarang dalam Islam, baik besar maupun kecil, berlipat ganda maupun tidak.[8]
v Ancaman bagi pelaku riba
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيمٌ أَخْبَرَنَا أَبُؤ الزُّبيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ اكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَا تِبَهُ وَشَاهِدَينِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberiannya, penulisnya, kedua saksinya, mereka semua sama.” (H.R. Muslim)
Riba diharamkan baik dalam al-Qur’an maupun hadis. Riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pelakunya tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah, sehingga pada akhirnya akan berkurang.[9]




[1] Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim (Jakarta: Darul Falah, 2002), hal. 57.

[2] Idri, Hadis Ekonomi: Ekonomi dalam Prespektif Hadis Nabi Edisi Pertama (Jakarta: Prenadamedia Group,
   2015), hal. 175.
[3] Ibid., hal. 180.
[4] Ibid., hal. 186.
[5] Prof. Dr. H. Idri M.Ag, Hadis Ekonomi (Ekonomi dalam Prespektif Hadis Nabi Edisi Pertama), Jakarta:Prenadamedia Group, 2015, Hlm 192
[6] Ibid., hal. 195.
[7]Adiwarman A. Karim  dan Oni Sahroni,  Riba, Gharar, dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah (Jakarta:
  Rajawali Pers, 2015), hal. 13.
[8] Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi (Malang: UIN Maliki Press, 2012), hal. 136.
[9] Ibid., hal. 131.

LARANGAN JUAL BELI DALAM ISLAM

A.       Larangan dalam Jual Beli Menurut Islam Rasullullah sangat melarang sikap dan perilaku negatif dalam jual beli, diantaranya adal...