Sabtu, 21 Oktober 2017

JUAL BELI DAN RIBA


v  JUAL BELI
A.      Pengertian Jual Beli
Jual beli adalah tukar menukar barang atau harta secara suka sama suka. Definisi ini sejalan dengan firman Allah SWT bahwa jual beli harus didasarkan pada keinginan sendiri dan atas dasar suka sama suka , sebagaimana firman Allah dalam surah al-Nisa’ayat 29.
يَاأَيَّهَا الّذِينَ ءَامَنُوالاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بِا لْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةًعَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu secara batil, kecuali bila berlaku dalam perdagangan antas dasar sama suka.”
Pembolehan jual-beli ditetapkan dalam empat sumber dalil, yaitu:
1.    Kitab Allah, dalam firman-Nya:“Dan, Allah menghalalkan jual-beli” (al-Baqarah: 275).
2. As-Sunnah, dalam sabda beliau, “Orang yang berjual-beli menurut pilihannya selagi belum saling berpisah.”
3.    Ijma’ orang-orang Muslim yang membolehkannya.
4.  Berdasarkan qiyas, karena kebutuhan kepadanya.  Seseorang tidak bisa mendapatkan apa yang dia butuhkan, jika apa yang dia butuhkan itu ada di tangan orang lain, kecuali dengan cara tertentu.[1]

B.       Jual Beli dalam Perspektif  Hadis Nabi
وَتَعَاوَنُوا الْبِرِّوَالتَّقْوَى وَلاَتَعَا وَنُو عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Bertolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)kebaikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Apresiasi Rasullulah terhadap jual beli terlihat dalam sabdanya ketika ia ditanya oleh seseorang tentang mata pencaharian yang paling baik, sebagaimana dalam Hadis berikut:
       عَنْ رِفَا عَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَ النَبِىَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ سُءِلَ: اَىُّ الْكَسْبِ اَطْيَبُ؟ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ {رَوَاهُ الْبَزَارُ وَصَحَحُ الْحَاكِمُ}
“Dari Rifa’ah ibn Rafi’ r.a bahwasanya Rasullulah SAW ditanya: Mata pencaharian apakah yang paling bagus ?Rasullulah menjawab,”Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli yang baik.” (HR. al-Bazzar dinyatakan sahih oleh al-Naysaburi)

C.      Rukun dan Syarat Jual Beli
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama adalah adanya penjual, pembeli, ijab kabul dan barang yang diperjualbelikan, dan nilai tukar pengganti barang. Disamping rukun, terdapat pula syarat-syarat jual beli yaitu sesuatu yang harus ada pada setiap rukun jual beli. Menurut jumhur ulama syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1.   Syarat-syarat orang yang berakad, yaitu penjual dan pembeli haruslah berakal dan dapat membedakan (tamyis), serta orang yang berakad harus cakap dalam bertindak hukum.
2.    Syarat-syarat barang atau objek jual beli. Barang yang diperjualbelikan harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a.    Barang itu harus ada. Maka tidak sah menjual barang yang tidak ada atau belum ada. Hal ini telah dijelaskan dalam Hadis Nabi di atas:
لَاتَبِعْ مَا لَيسَ عِنْدَكَ {رَوَاهُ الْبُخَارِىُ}
Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu.”(HR. al-Bukhari)
b.   Benda yang diperjualbelikan itu harus miliknya sendiri atau milik orang lain yang diwakilinya. Jika benda yang diperjualbelikan tersebut bukan miliknya sendiri, menurut mazhab Syafi’I, Maliki, dan Hambali, jual beli tersebut boleh dan sah dengan syarat yang harus mendapat izin pemiliknya. Akan tetapi, jika tidak mendapat izin dari pemiliknya, maka jual beli tersebut tidak sah. Sebagaimana Hadis Rasulullah di atas, yaitu:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنُ دينَارٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ مَنِ بْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْعُ حَتَّى يَقّبِضَهُ {رَوَاهُ الْبُخَارِىُ}
Dari ‘Abd ibn Dinar, katanya: Aku mendengar Ibn ‘Umar r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia membeli (membeyar)-nya kecuali setelah ia menerima atau memegangnya.”(HR. al-Bukhari)
c.  Barang tersebut dapat diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang telah disepakati bersama, ketika transaksi berlangsung. Ketentuan ini berdasarkan Hadis:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُو لُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ{رَوَاهُ مُسْلِمٌ}
“Dari Abu Hurayrah r.a. Berkata Rasulullah saw melarang jual beli denga lemparan batu (kerikil) dan jual beli gharar.”(HR. Muslim)

d.   Barang tersebut bisa diketahui oleh penjual dan pembeli. Mengetahui disini adakalanya waktu akad atau sebelum akad dengan syarat benda tersebut tidak berubah saat akad berlangsung.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: الْمَدِينَةُ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِاثَّمَرِ السَّنَتَينِ وَالثَّلَاثِ فَقَالَ مَنْ اَسْلَفَفِيْ كَيلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ 0رَوَاهُ مُسْلِمٌ}
“Diriwayatkan dari ibn Abbas r.a., ia berkata :Nabi SAW datang ke Madinah dimana masyarakatnya melakukan transaksi salam kurma selama dua tahun dan tiga tahun.Kemudian Nabi bersabda, “Barangsiapa yang melakukan akad salam terhadap sesuatu hendaklah dilakukan dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas , dan sampai batas waktu yang jelas.”(HR.Muslim)
e.   Barang tersebut harus ada manfaatnya dan harus suci, maka tidak sah memperjualbelikan barang yang tidak ada manfaatnya dan barang najis. Dalam surah al-A’raf ayat 157 dijelaskan :
وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الخَبَائِثَ
“Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala benda yang baik, dan mengharamkan kepada mereka segala benda yang buruk.”
3. Syarat yang berkaitan dengan ijab dan qabul. Agar supaya ijab dan qabul dalam jual beli dapat mengakibatkan sahnya akad, maka harus memenuhi beberapa syarat yaitu ;[2]
a.    Tujuan pernyaraan jelas
b.    Ada kesesuaian antara ijab dan qabul
c.    Pernyataan ijab dan qabul mengacu pada kehendak masing-masing.  
4.  Syarat yang berkaitan dengan nilai tukar (harga barang). Ulama fiqh mengemukakan syarat dari nilai tukar sebagai berkut:
a.    Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b.   Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila barang itu dibayar kemudian (berutang), maka waktu pembayarannya pun jelas.
c.    Apabila jual beli itu dialakukan secara barter maka barang yang dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan oleh syara’ seperti babi dan khamr, karena kedua jenis ini tidak bernilai dalam pandangan syara’.
           
D.      Tujuan dan Bentuk-Bentuk Jual Beli
Al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan agar umat manusia hidup dengan berlandaskan tolong-menolong, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Maidah ayat 2:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّوَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu (mengerjakan) dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Untuk melestarikan tujuan tersebut, maka toleransi atau lapang dada dalam aktivitas perdagangan dan jual beli ini sangat diperlukan dan itu merupakan perbuatan yang mendatangkan keberhasilan serta keberkahan usaha. Bentuk-bentuk jual beli dapat dilihat dari beberapa segi.
1.    Dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, ada dua bentuk jual beli, yaitu:
a.    Jual beli yang sahih, jual beli yang telah memenuhi semua rukun dan syarat.
b.    Jual beli yang tidak sahih, jual beli yang salah satu atau semua rukunnya tidak terpenuhi.
2.    Dilihat dari objek jual beli, ada tiga bentuk:
a.    jual beli umum; yaitu menukar barang dengan uang.
b.    Jual beli al-sharf dan money changer, yaitu penukaran uang dengan uang.
c.    Jual beli barter, yaitu menukar barang dengan barang.
3.    Dilihat dari standarisasi harga, ada tiga bentuk jual beli, yaitu:
a.    Jual beli tawar-menawar, yaiu jual beli dimana pihak penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b.    Jual beli amanah, yaitu jual beli dimana penjual memberitahukan harga modal jualannya.
c.  Jual beli lelang, yaitu jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, kemudian para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, kemudian si penjual akan menjual dengan harga tertinggi daripada pembeli tersebut.
4.    Dilihat dari cara pembayaran, terdapat empat bentuk jual beli:
a.    Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayarannya secara langsung.
b.    Jual beli dengan pembayaran tertunda.
c.    Jual beli dengan penyerahan darang dan pembayaran sama-sama tertunda.


E.       Prinsip-Prinsip Jual Beli
Berbagai penjelasan tentang jual beli diatas dimaksudkan agar aktivitas jual beli sesuai dengan prinsip-prinsip jual beli dalam islam. Secara garis besar, prinsip-prinsip itu adalah:
1. Prinsip suka sama suka (‘an taradhin). Prinsip ini menunjukkan bahwa segala bentuk aktivitas perdagangan dan jual beli tidak boleh dilakukan dengan paksaan, penipuan, kecurangan, intimidasi, dan praktik-praktik lai yang dapat menghilangkan kebebasan, kebenaran, dan kejujuran dalam transaksi ekonomi.
2.  Takaran dan timbangan yang benar.dalam perdagangan nilai timbangan dan ukuran yang dapat dan standar benar-benar harus diutamakan.
3.    Iktikat baik. Menunjukkan iktikat baik dalam transaksi bisnis juga dianggap sebagai hakikat bisnis.[3]


v  RIBA
A.      Pengertian Riba
Menurut jumhur ulama, prinsip utama dalam riba adalah penambahan, yaitu penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. Menurut qatadah, riba jahiliyyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.
حَدَّثَنَا أَبُوكُرَيبٍ وَوَاصِلُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ فُصَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ أَبِي نُعْمٍ عَنْ أَبِي هُرَيرَةَ قَالَ قَالَ رَسُو لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَفَهُوَرِبًا
Rasulullah bersabda: “Emas dengan emas sama timbangan dan ukurannya, perak dengan perak sama timbangan dan ukurannya. Barang siapa meminta tambah maka termasuk riba.”
Riba dalam munasabahnya menunjukkan beberapa karakter:
1.  Menjadikan pelakunya kesetanan, tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.
2.  Riba merupakan transaksi utang piutang dengan tambahan yang diperjanjikan di depan dengan dampak zhulm.
3.   Riba mempunyai watak menjauhkan persaudaraan bahkan menuju permusuhan.

B.       Riba Dalam Prespektif Hadis Nabi
Hadis-hadis yang menerangkan tentang riba kebanyakan berkaitan dengan transaksi jual beli. [4]
عَنْ عَبْد الرّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ:قَالَ أَبُو بَكْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَتَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا سَوَاءَ بِسَوَءٍ وَالْفِضَّةَبِالذَّهَبِ كَيْفَلاشِءْتُم {رَوَاهُ الْبُخَارِىُ}
“Dari Abd al-Rahman ibn Abi Bakrah, katanya: Abu Bakrah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda, “jangan kalian jual beli emas kecuali sama-sama, perak dengan perak kecuali yang sama-sama. Dan jual belilah emas dan perak atau perak dengan emas sesuai dengan keinginan kalian.” (H.R. Bukhari)
Hadis diatas menjelaskan bahwa jual beli dengan barang yang sejenis. Jika jual beli itu dilakukan dengan ukuran dan timbangan yang berbeda maka termasuk kategori riba, kecuali objek yang diperjualbelikan berbeda misalnya emas dengan perak, emas dengan gandum, maka diperbolehkan dengan ukuran dan timbangan yang berbeda. Jika barang yang diperjual belikan berbeda, maka dapat dilakukan dengan ukuran, kadar, atau timbangan yang berbeda asalkan barang itu langsung diserahterimakan pada saat transaksi dilakukan, sebagaimana sabda Nabi:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالِفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرَّوَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِوَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍيَدًابِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيفَ شِءْتُمْ إِذَاكَانَ يَدًابِيَدٍ {رَوَاهُ مُسْلِمٌ}
“Dari Ubbadah bin Shamit, katanya: Rasulullah SAW bersabda, “jual belil emas dengan emas, tepung dengan tepung, gandum dengan gandum, dan kurma dengan kurma serta garam dengan garam harus sama dan langsung serah terima. Apabila barang-barang ini berbeda-beda, maka jual belilah kalian sesuai yang kalian inginkan apabila dilakukan secara serah terima langsung.” (H.R. Muslim)
Apabila salah satu sifat barang yang diperjual belikan berubah, misalnya berubah warnanya kusam karena lama tidak terjual dan lainnya masih segar, maka jual beli dengan ukuran yang berbeda diperbolehkan. Disamping itu, Rasulullah mengutuk kepada orang-orang yang terlibat dalam riba baik yang memakannya, mewakili, dalam transaksi riba, menulis atau menyaksikannya. Rasulullah bersabda:
عَنْ جَا بِرٍ, قَالَ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَالرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ {رَوَاهُ مُسْلِمٌ}
“Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah SAW mengutuk orang yang memakan riba, orang yang mewakilinya, orang yang mencatatnya, dan dua orang yang menjadi saksinya. Nabi bersabda, “mereka sama (dosanya).” (H.R.Muslim)
Rasulullah memasukkan riba sebagai salah satu dari tujuh dosa besar yang harus dijauhi. Riba disepadankan dengan syirik, sihir, membunuh, makan harta anak yatim, lari dari peperangan, dan menuduh wanita baik-baik melakukan zina. Orang yang makan harta riba baik melalui utang-piutang maupun jual beli bermaksud agar hartanya bisa bertambah. Padahal, menurut Rasulullah harta itu sesungguhnya berkurang (minimal dari segi berkahnya).

C.      Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dibagi menjadi dua, yakni:[5]
1.    Riba utang-piutang
a.    Riba Qardh
Adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang berhutang. Misalnya, orang yang berhutang seratus ribu rupiah diharuskan kembali membayar seratus sepuluh ribu rupiah, maka tambahan sepuluh ribu rupiah adalah riba qardh.
b.    Riba Jahiliyyah atau Riba Yad
Adalah utang yang dibayarkan lebih dari pokoknya karena peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan. Biasanya jika peminjam tidak mampu membayar pada waktu yang ditentukan, maka bunganya akan bertambah sejalan dengan waktu tenggakan.
2.    Riba jual-beli:
a.    Riba Fadhl
Adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk kedalam jenis barang ribawi. Perkataan fadhl berarti kelebihan yang dikenakan dalam pertukaran atau penjualan barang yang sama jenis atau bentuknya.
b.    Riba Nasi’ah
Adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

D.      Sebab-Sebab Dilarangnya Riba, Hukum dan Ancaman Pelaku Riba
v Adapun sebab-sebab dilarangnya riba yakni:
a.    Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilik harta dari orang lain tanpa ada imbalan.
b.    Riba menghalangi pemodal ikut serta berusaha mencari rezeki, karena ia dengan mudah membiayai hidupnya, cukup dengan bunga berjangka itu.
c.  Jika riba diperbolehkan, masyarakat dengan maksud memenuhi kebutuhannya tidak segan-segan meminjam uang walupun bunganya sangat tinggi.
d.   Dengan adanya riba biasanya pemodal menjadi semakin kaya dan peminjam semakin miskin.
e.    Larangan riba sudah ditetapkan oleh nash.  [6]
f.  Mencegah para rentenir berbuat zalim kepada penerima pinjaman karena praktik riba berarti pemberi pinjaman mengeksplorasi penerima pinjamandengan meminta bunga atas pinjaman yang diberikan.[7]
v Hukum riba
a.    Kelompok pertama:
Mengharamkan riba yang berlipat ganda karena diharamkan al-Qur’an adalah riba yang berlipat ganda saja yakni riba nasi’ah terbukti juga dengan hadis tidak ada riba kecuali nasi’ah. Karenanya selain riba nasiah maka diperbolehkan.
b.    Kelompok kedua:
Mengharamkan riba, baik yang besar maupun kecil. Riba dilarang dalam Islam, baik besar maupun kecil, berlipat ganda maupun tidak.[8]
v Ancaman bagi pelaku riba
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيمٌ أَخْبَرَنَا أَبُؤ الزُّبيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ اكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَا تِبَهُ وَشَاهِدَينِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberiannya, penulisnya, kedua saksinya, mereka semua sama.” (H.R. Muslim)
Riba diharamkan baik dalam al-Qur’an maupun hadis. Riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pelakunya tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah, sehingga pada akhirnya akan berkurang.[9]




[1] Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari Muslim (Jakarta: Darul Falah, 2002), hal. 57.

[2] Idri, Hadis Ekonomi: Ekonomi dalam Prespektif Hadis Nabi Edisi Pertama (Jakarta: Prenadamedia Group,
   2015), hal. 175.
[3] Ibid., hal. 180.
[4] Ibid., hal. 186.
[5] Prof. Dr. H. Idri M.Ag, Hadis Ekonomi (Ekonomi dalam Prespektif Hadis Nabi Edisi Pertama), Jakarta:Prenadamedia Group, 2015, Hlm 192
[6] Ibid., hal. 195.
[7]Adiwarman A. Karim  dan Oni Sahroni,  Riba, Gharar, dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah (Jakarta:
  Rajawali Pers, 2015), hal. 13.
[8] Ilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi (Malang: UIN Maliki Press, 2012), hal. 136.
[9] Ibid., hal. 131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LARANGAN JUAL BELI DALAM ISLAM

A.       Larangan dalam Jual Beli Menurut Islam Rasullullah sangat melarang sikap dan perilaku negatif dalam jual beli, diantaranya adal...