v JUAL BELI
A.
Pengertian Jual Beli
Jual beli adalah tukar menukar
barang atau harta secara suka sama suka. Definisi ini sejalan dengan firman
Allah SWT bahwa jual beli harus didasarkan pada keinginan sendiri dan atas
dasar suka sama suka , sebagaimana firman Allah dalam surah al-Nisa’ayat 29.
يَاأَيَّهَا
الّذِينَ ءَامَنُوالاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بِا لْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ
تَكُوْنَ تِجَارَةًعَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman janganlah
kamu memakan harta sesamamu secara batil, kecuali bila berlaku dalam
perdagangan antas dasar sama suka.”
Pembolehan
jual-beli ditetapkan dalam empat sumber dalil, yaitu:
1.
Kitab
Allah, dalam firman-Nya:“Dan, Allah menghalalkan jual-beli” (al-Baqarah: 275).
2. As-Sunnah,
dalam sabda beliau, “Orang yang berjual-beli menurut pilihannya selagi belum
saling berpisah.”
3.
Ijma’ orang-orang Muslim yang membolehkannya.
4. Berdasarkan
qiyas, karena kebutuhan kepadanya.
Seseorang tidak bisa mendapatkan apa yang dia butuhkan, jika apa yang
dia butuhkan itu ada di tangan orang lain, kecuali dengan cara tertentu.[1]
B.
Jual Beli dalam Perspektif
Hadis Nabi
وَتَعَاوَنُوا
الْبِرِّوَالتَّقْوَى وَلاَتَعَا وَنُو عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Bertolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan)kebaikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran.”
Apresiasi Rasullulah terhadap jual
beli terlihat dalam sabdanya ketika ia ditanya oleh seseorang tentang mata
pencaharian yang paling baik, sebagaimana dalam Hadis berikut:
عَنْ رِفَا عَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَ النَبِىَ
صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ سُءِلَ: اَىُّ الْكَسْبِ اَطْيَبُ؟ قَالَ عَمَلُ
الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ {رَوَاهُ الْبَزَارُ وَصَحَحُ
الْحَاكِمُ}
“Dari Rifa’ah
ibn Rafi’ r.a bahwasanya Rasullulah SAW ditanya: Mata pencaharian apakah yang
paling bagus ?Rasullulah menjawab,”Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan
tiap-tiap jual beli yang baik.” (HR.
al-Bazzar dinyatakan sahih oleh al-Naysaburi)
C.
Rukun dan Syarat Jual Beli
Adapun
rukun jual beli menurut jumhur ulama adalah adanya penjual, pembeli, ijab
kabul dan barang yang diperjualbelikan, dan nilai tukar pengganti barang. Disamping
rukun, terdapat pula syarat-syarat jual beli yaitu sesuatu yang harus ada pada
setiap rukun jual beli. Menurut jumhur ulama syarat-syarat yang harus dipenuhi
adalah sebagai berikut:
1. Syarat-syarat orang yang berakad, yaitu penjual dan pembeli
haruslah berakal dan dapat membedakan (tamyis), serta orang yang berakad
harus cakap dalam bertindak hukum.
2. Syarat-syarat barang atau objek jual beli. Barang yang
diperjualbelikan harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a.
Barang
itu harus ada. Maka tidak sah menjual barang yang tidak ada atau belum ada. Hal
ini telah dijelaskan dalam Hadis Nabi di atas:
لَاتَبِعْ مَا لَيسَ عِنْدَكَ {رَوَاهُ الْبُخَارِىُ}
“Jangan menjual sesuatu yang tidak ada
padamu.”(HR. al-Bukhari)
b. Benda
yang diperjualbelikan itu harus miliknya sendiri atau milik orang lain yang
diwakilinya. Jika benda yang diperjualbelikan tersebut bukan miliknya sendiri,
menurut mazhab Syafi’I, Maliki, dan Hambali, jual beli tersebut boleh dan sah
dengan syarat yang harus mendapat izin pemiliknya. Akan tetapi, jika tidak
mendapat izin dari pemiliknya, maka jual beli tersebut tidak sah. Sebagaimana
Hadis Rasulullah di atas, yaitu:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنُ دينَارٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ مَنِ
بْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْعُ حَتَّى يَقّبِضَهُ {رَوَاهُ الْبُخَارِىُ}
“Dari ‘Abd ibn Dinar, katanya: Aku mendengar Ibn ‘Umar r.a berkata:
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia
membeli (membeyar)-nya kecuali setelah ia menerima atau memegangnya.”(HR.
al-Bukhari)
c. Barang
tersebut dapat diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang telah
disepakati bersama, ketika transaksi berlangsung. Ketentuan ini berdasarkan
Hadis:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُو لُ اللهِ صَلَى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ{رَوَاهُ
مُسْلِمٌ}
“Dari Abu Hurayrah r.a. Berkata Rasulullah saw melarang jual beli
denga lemparan batu (kerikil) dan jual beli gharar.”(HR. Muslim)
d.
Barang
tersebut bisa diketahui oleh penjual dan pembeli. Mengetahui disini adakalanya
waktu akad atau sebelum akad dengan syarat benda tersebut tidak berubah saat
akad berlangsung.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدَمَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: الْمَدِينَةُ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِاثَّمَرِ
السَّنَتَينِ وَالثَّلَاثِ فَقَالَ مَنْ اَسْلَفَفِيْ كَيلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ
مَعْلُومٍ 0رَوَاهُ مُسْلِمٌ}
“Diriwayatkan dari ibn Abbas r.a., ia berkata :Nabi SAW datang ke
Madinah dimana masyarakatnya melakukan transaksi salam kurma selama dua tahun
dan tiga tahun.Kemudian Nabi bersabda, “Barangsiapa yang melakukan akad salam
terhadap sesuatu hendaklah dilakukan dalam takaran yang jelas, timbangan yang
jelas , dan sampai batas waktu yang jelas.”(HR.Muslim)
e.
Barang
tersebut harus ada manfaatnya dan harus suci, maka tidak sah memperjualbelikan
barang yang tidak ada manfaatnya dan barang najis. Dalam surah al-A’raf ayat
157 dijelaskan :
وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ الخَبَائِثَ
“Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala
benda yang baik, dan mengharamkan kepada mereka segala benda yang buruk.”
3. Syarat yang berkaitan dengan ijab dan qabul. Agar
supaya ijab dan qabul dalam jual beli dapat mengakibatkan sahnya
akad, maka harus memenuhi beberapa syarat yaitu ;[2]
a.
Tujuan
pernyaraan jelas
b.
Ada
kesesuaian antara ijab dan qabul
c.
Pernyataan
ijab dan qabul mengacu pada kehendak masing-masing.
4. Syarat yang berkaitan dengan nilai tukar (harga barang). Ulama fiqh
mengemukakan syarat dari nilai tukar sebagai berkut:
a.
Harga
yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b. Dapat
diserahkan pada saat akad berlangsung, sekalipun secara hukum seperti
pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila barang itu dibayar kemudian
(berutang), maka waktu pembayarannya pun jelas.
c.
Apabila
jual beli itu dialakukan secara barter maka barang yang dijadikan nilai tukar,
bukan barang yang diharamkan oleh syara’
seperti babi dan khamr, karena kedua jenis ini tidak bernilai dalam pandangan syara’.
D.
Tujuan dan Bentuk-Bentuk Jual Beli
Al-Qur’an
sendiri telah mengisyaratkan agar umat manusia hidup dengan berlandaskan
tolong-menolong, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Maidah ayat 2:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّوَالتَّقْوَى وَلاَ
تَعَاوَنُوْا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu (mengerjakan)
dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran.”
Untuk melestarikan tujuan tersebut,
maka toleransi atau lapang dada dalam aktivitas perdagangan dan jual beli ini
sangat diperlukan dan itu merupakan perbuatan yang mendatangkan keberhasilan
serta keberkahan usaha. Bentuk-bentuk jual beli dapat dilihat dari beberapa
segi.
1. Dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, ada dua bentuk jual beli, yaitu:
a.
Jual
beli yang sahih, jual beli yang telah memenuhi semua rukun dan syarat.
b.
Jual
beli yang tidak sahih, jual beli yang salah satu atau semua rukunnya tidak
terpenuhi.
2. Dilihat dari objek jual beli, ada tiga bentuk:
a.
jual
beli umum; yaitu menukar barang dengan uang.
b.
Jual
beli al-sharf dan money changer, yaitu penukaran uang
dengan uang.
c.
Jual
beli barter, yaitu menukar barang dengan barang.
3. Dilihat dari standarisasi harga, ada tiga bentuk jual beli, yaitu:
a.
Jual
beli tawar-menawar, yaiu jual beli dimana pihak penjual tidak memberitahukan modal
barang yang dijualnya.
b.
Jual
beli amanah, yaitu jual beli dimana penjual memberitahukan harga modal
jualannya.
c. Jual
beli lelang, yaitu jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya,
kemudian para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari
pembeli sebelumnya, kemudian si penjual akan menjual dengan harga tertinggi
daripada pembeli tersebut.
4. Dilihat dari cara pembayaran, terdapat empat bentuk jual beli:
a.
Jual
beli dengan penyerahan barang dan pembayarannya secara langsung.
b.
Jual
beli dengan pembayaran tertunda.
c.
Jual
beli dengan penyerahan darang dan pembayaran sama-sama tertunda.
E.
Prinsip-Prinsip Jual Beli
Berbagai
penjelasan tentang jual beli diatas dimaksudkan agar aktivitas jual beli sesuai
dengan prinsip-prinsip jual beli dalam islam. Secara garis besar,
prinsip-prinsip itu adalah:
1. Prinsip suka sama suka (‘an
taradhin). Prinsip ini menunjukkan bahwa segala bentuk aktivitas
perdagangan dan jual beli tidak boleh dilakukan dengan paksaan, penipuan,
kecurangan, intimidasi, dan praktik-praktik lai yang dapat menghilangkan
kebebasan, kebenaran, dan kejujuran dalam transaksi ekonomi.
2. Takaran dan timbangan yang benar.dalam perdagangan nilai timbangan
dan ukuran yang dapat dan standar benar-benar harus diutamakan.
3. Iktikat baik. Menunjukkan iktikat baik dalam transaksi bisnis juga
dianggap sebagai hakikat bisnis.[3]
v RIBA
A.
Pengertian Riba
Menurut
jumhur ulama, prinsip utama dalam riba adalah penambahan, yaitu penambahan atas
harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. Menurut qatadah, riba
jahiliyyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu
tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan pembeli tidak mampu
membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.
حَدَّثَنَا أَبُوكُرَيبٍ وَوَاصِلُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَ
حَدَّثَنَا ابْنُ فُصَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ أَبِي نُعْمٍ عَنْ أَبِي
هُرَيرَةَ قَالَ قَالَ رَسُو لُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ وَزْنًا
بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَفَهُوَرِبًا
Rasulullah
bersabda: “Emas dengan emas sama timbangan dan ukurannya, perak dengan perak
sama timbangan dan ukurannya. Barang siapa meminta tambah maka termasuk riba.”
Riba dalam munasabahnya menunjukkan beberapa karakter:
1. Menjadikan
pelakunya kesetanan, tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.
2. Riba
merupakan transaksi utang piutang dengan tambahan yang diperjanjikan di depan
dengan dampak zhulm.
3. Riba
mempunyai watak menjauhkan persaudaraan bahkan menuju permusuhan.
B.
Riba Dalam Prespektif Hadis Nabi
Hadis-hadis
yang menerangkan tentang riba kebanyakan berkaitan dengan transaksi jual beli. [4]
عَنْ عَبْد الرّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ:قَالَ أَبُو
بَكْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: لاَتَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا سَوَاءَ بِسَوَءٍ وَالْفِضَّةَبِالذَّهَبِ
كَيْفَلاشِءْتُم {رَوَاهُ الْبُخَارِىُ}
“Dari Abd al-Rahman ibn
Abi Bakrah, katanya: Abu Bakrah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda, “jangan
kalian jual beli emas kecuali sama-sama, perak dengan perak kecuali yang
sama-sama. Dan jual belilah emas dan perak atau perak dengan emas sesuai dengan
keinginan kalian.” (H.R. Bukhari)
Hadis
diatas menjelaskan bahwa jual beli dengan barang yang sejenis. Jika jual beli
itu dilakukan dengan ukuran dan timbangan yang berbeda maka termasuk kategori
riba, kecuali objek yang diperjualbelikan berbeda misalnya emas dengan perak,
emas dengan gandum, maka diperbolehkan dengan ukuran dan timbangan yang berbeda.
Jika barang yang diperjual belikan berbeda, maka dapat dilakukan dengan ukuran,
kadar, atau timbangan yang berbeda asalkan barang itu langsung diserahterimakan
pada saat transaksi dilakukan, sebagaimana sabda Nabi:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالِفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ
بِالْبُرَّوَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِوَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً
بِسَوَاءٍيَدًابِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيفَ
شِءْتُمْ إِذَاكَانَ يَدًابِيَدٍ {رَوَاهُ مُسْلِمٌ}
“Dari
Ubbadah bin Shamit, katanya: Rasulullah SAW bersabda, “jual belil emas dengan
emas, tepung dengan tepung, gandum dengan gandum, dan kurma dengan kurma serta
garam dengan garam harus sama dan langsung serah terima. Apabila barang-barang
ini berbeda-beda, maka jual belilah kalian sesuai yang kalian inginkan apabila
dilakukan secara serah terima langsung.”
(H.R. Muslim)
Apabila
salah satu sifat barang yang diperjual belikan berubah, misalnya berubah
warnanya kusam karena lama tidak terjual dan lainnya masih segar, maka jual
beli dengan ukuran yang berbeda diperbolehkan. Disamping itu, Rasulullah
mengutuk kepada orang-orang yang terlibat dalam riba baik yang memakannya,
mewakili, dalam transaksi riba, menulis atau menyaksikannya. Rasulullah
bersabda:
عَنْ جَا بِرٍ, قَالَ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَكِلَالرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ
سَوَاءٌ {رَوَاهُ مُسْلِمٌ}
“Dari
Jabir, ia berkata: Rasulullah SAW mengutuk orang yang memakan riba, orang yang
mewakilinya, orang yang mencatatnya, dan dua orang yang menjadi saksinya. Nabi
bersabda, “mereka sama (dosanya).”
(H.R.Muslim)
Rasulullah
memasukkan riba sebagai salah satu dari tujuh dosa besar yang harus dijauhi.
Riba disepadankan dengan syirik, sihir, membunuh, makan harta anak yatim, lari
dari peperangan, dan menuduh wanita baik-baik melakukan zina. Orang yang makan
harta riba baik melalui utang-piutang maupun jual beli bermaksud agar hartanya
bisa bertambah. Padahal, menurut Rasulullah harta itu sesungguhnya berkurang
(minimal dari segi berkahnya).
C.
Jenis-Jenis Riba
Secara
garis besar riba dibagi menjadi dua, yakni:[5]
1.
Riba
utang-piutang
a.
Riba
Qardh
Adalah
suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang
berhutang. Misalnya, orang yang berhutang seratus ribu rupiah diharuskan
kembali membayar seratus sepuluh ribu rupiah, maka tambahan sepuluh ribu rupiah
adalah riba qardh.
b.
Riba
Jahiliyyah atau Riba Yad
Adalah utang yang dibayarkan lebih dari pokoknya karena peminjam
tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan. Biasanya jika
peminjam tidak mampu membayar pada waktu yang ditentukan, maka bunganya akan
bertambah sejalan dengan waktu tenggakan.
2.
Riba
jual-beli:
a.
Riba
Fadhl
Adalah
pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk kedalam jenis barang ribawi.
Perkataan fadhl berarti kelebihan yang dikenakan dalam pertukaran atau
penjualan barang yang sama jenis atau bentuknya.
b.
Riba
Nasi’ah
Adalah
penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan
dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya
perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang
diserahkan kemudian.
D.
Sebab-Sebab Dilarangnya Riba, Hukum dan Ancaman Pelaku Riba
v Adapun sebab-sebab dilarangnya riba yakni:
a.
Riba
memungkinkan seseorang memaksakan pemilik harta dari orang lain tanpa ada
imbalan.
b.
Riba
menghalangi pemodal ikut serta berusaha mencari rezeki, karena ia dengan mudah
membiayai hidupnya, cukup dengan bunga berjangka itu.
c. Jika
riba diperbolehkan, masyarakat dengan maksud memenuhi kebutuhannya tidak
segan-segan meminjam uang walupun bunganya sangat tinggi.
d.
Dengan
adanya riba biasanya pemodal menjadi semakin kaya dan peminjam semakin miskin.
e.
Larangan
riba sudah ditetapkan oleh nash. [6]
f. Mencegah
para rentenir berbuat zalim kepada penerima pinjaman karena praktik riba
berarti pemberi pinjaman mengeksplorasi penerima pinjamandengan meminta bunga
atas pinjaman yang diberikan.[7]
v Hukum riba
a.
Kelompok
pertama:
Mengharamkan
riba yang berlipat ganda karena diharamkan al-Qur’an adalah riba yang berlipat
ganda saja yakni riba nasi’ah terbukti juga dengan hadis tidak ada riba kecuali
nasi’ah. Karenanya selain riba nasiah maka diperbolehkan.
b.
Kelompok
kedua:
Mengharamkan
riba, baik yang besar maupun kecil. Riba dilarang dalam Islam, baik besar
maupun kecil, berlipat ganda maupun tidak.[8]
v Ancaman bagi pelaku riba
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيرُ بْنُ حَرْبٍ
وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيمٌ أَخْبَرَنَا أَبُؤ
الزُّبيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ اكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَا تِبَهُ وَشَاهِدَينِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat
pemakan riba, pemberiannya, penulisnya, kedua saksinya, mereka semua sama.”
(H.R. Muslim)
Riba
diharamkan baik dalam al-Qur’an maupun hadis. Riba memang dapat mendatangkan
keuntungan besar bagi pelakunya tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah
dari Allah, sehingga pada akhirnya akan berkurang.[9]
[1] Kathur Suhardi, Edisi Indonesia: Syarah Hadist Pilihan Bukhari
Muslim (Jakarta: Darul Falah, 2002), hal. 57.
[2] Idri, Hadis
Ekonomi: Ekonomi dalam Prespektif Hadis Nabi Edisi Pertama (Jakarta:
Prenadamedia Group,
2015), hal. 175.
2015), hal. 175.
[3] Ibid., hal.
180.
[4] Ibid., hal.
186.
[5] Prof. Dr. H.
Idri M.Ag, Hadis Ekonomi (Ekonomi dalam Prespektif Hadis Nabi Edisi Pertama),
Jakarta:Prenadamedia Group, 2015, Hlm 192
[6] Ibid., hal.
195.
[7]Adiwarman A.
Karim dan Oni Sahroni, Riba, Gharar, dan Kaidah-kaidah Ekonomi
Syariah (Jakarta:
Rajawali Pers, 2015), hal. 13.
Rajawali Pers, 2015), hal. 13.
[8] Ilfi Nur
Diana, Hadis-Hadis Ekonomi (Malang: UIN Maliki Press, 2012), hal. 136.
[9] Ibid., hal.
131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar